Header Serambi Naqiibah

Rumah di Tengah Hutan (1)

4 comments
Konten [Tampil]

"Jadi beneran ini kita mau pindah ke tanah warisan Bapak di desa tetangga?" Aku mencari keyakinan bulat atas keputusan bapak untuk pindah rumah ke tanah warisan bapak itu. Ibu cuma mengangguk. Aku mencoba mencari pembelaan keberatan kepada kakak pertamaku yang sedang asyik mengerjakan skripsinya.

"Ya, mau bagaimana lagi, Dik? Pakde kan menghendaki untuk segera menjual rumah warisan ini. Lha siapa yang mau beli kalau rumahnya tetap dihuni?" jawab kakak pertamaku tanpa menoleh kepadaku. "Lagian tanah warisan bapak kan agak jauh dari jalan raya. Katanya sudah sumpek dengan suara kendaraan berat yang lewat?" imbuh kakakku satunya.

"Nah, lalu kita mau tinggal di mana selama pembangunan rumah di sana?" tanyaku kembali dan berharap ada satu jawaban penolakan untuk pindah. 

"Tante Mirna bersedia rumah kecilnya yang dekat pasar itu bisa kita tempati. Si Luna, anaknya yang nempati kan sudah lama dinas ke luar, jadi ndak ada yang menempatinya. Lusa kita pindah ke sana", tukas ibu mengakhiri percakapan sore itu. Sepanjang malam itu, aku mengurung diri di kamar, enggan untuk mengobrol dengan keluargaku.

Keputusan pakde untuk menjual harta warisan satu-satunya kakek dari ibu sangat tidak bisa ditunda lagi. Rumah besar warisan temurun yang menjadi ikon keluarga bani Hajir di desa ini. Kakekku merupakan salah seorang guru ngaji di desa ibu yang terkenal loyal dan perhatian kepada pendidikan masyarakat desa ini. 

Saking loyalnya, seluruh tanahnya dibagikan untuk wakaf pembangunan mushola dan madrasah di desa. Tak ada yang tersisa untuk ketiga anaknya, hanya rumah besar yang kami huni ini dan sebidang tanah yang penuh dengan pohon siwalan dan akhirnya kini menjadi tanah makam dari keluarga kakek.

Tanah Warisan Bapak

Sementara masa pembangunan rumah di tanah warisan bapak, aku jarang pulang ke rumah tante Mirna. Malah lebih sering tidur di rumah sepupu yang lain. Sedangkan bapak dan ibu sudah cukup pusing untuk urusan pembangunan rumah di tanah warisan tersebut, jadi membiarkan aku dengan segala tingkahku yang sangat terlihat menolak pindah rumah.

Rumah di Tengah Hutan (1)


Namun demikian, sesekali kakak pertama yang tinggal nunggu wisuda mengajakku mampir ke calon hunian baru kami itu. Mengajak mengenali suasana, kata kakakku. Biar ndak kaget-kaget amat.

Sembari mengamati para tukang bangunan menyelesaikan tugasnya, aku biasanya menyiram pohon jambu yang baru ditanam bapak sejak memutuskan pindah ke sini. Entah kenapa aku langsung menyukai pohon jambu hasil cangkok bapak ini.

Tanah warisan milik bapak dari simbah kakung ini sebenarnya sangat asri awalnya. Lokasinya lumayan strategis. Tidak terlalu jauh dari jalan raya, 200 meter masuk dari jalan raya. Tempatnya merupakan sederet tanah milik simbah kakung. Jadi, seperti pekarangan milik bapak dengan saudaranya.

Berbagai macam tanaman selalu disemai bapak di sana. Dulu saat aku masih kecil, aku sering diajak ibu panen cabe, jagung atau kacang. Sejak aku duduk di kelas 6 SD, bapak dan saudaranya mulai tergoda untuk menanami tanah milik mereka dengan pohon jati. Sejak saat itu, aku mulai merasa ada yang janggal setiap kali singgah ke tanah bapak. Berasa masuk hutan lindung :3.

Suatu hari, sepulang dari memantau pembangunan rumah, kakakku marah besar. Dibantingnya kunci motornya sambil menghela napas panjang,

"Pak, Buk, sepertinya ada yang kasih garam loh di tong tempat air buat nyampur semen. Tadi pak Salam heran, kok hasil semennya ada kristal garam di tembok, macem ada yang nyampur garam di dalam airnya." cerita kakak pertamaku panik. 

"Pasti ada yang tidak suka sama bapak yang sedang bangun rumah di sana", ujarku pelan.

"Hush, jangan suudhon dulu," potong bapak memperingatkanku.

"Kamu yakin ada orang yang tidak suka sama bapak, Dek?" bisik kakak keduaku yang kebetulan sedang mudik dari tempat kosnya. Tiba-tiba saja makdeg, ya juga ya. (bersambung)


Episode 1: Rumah di Tengah Hutan (1)

Episode 2: Rumah di Tengah Hutan (2)

Episode 3: Rumah di Tengah Hutan (3)

Episode 4: Rumah di Tengah Hutan (4)

Episode 5: Rumah di Tengah Hutan (5)

Episode 6: Rumah di Tengah Hutan (6)

Episode 7: Rumah di Tengah Hutan (7)

Naqiibatin Nadliriyah
Halo! Saya Naqi. Pembaca buku yang menulis beberapa topik di Serambi Naqiibah. Diantaranya tentang ulasan buku maupun film, tips, fiksi, finansial, dan review produk teman :)

Related Posts

4 comments

  1. si adek..
    jangan asal nuduh dulu nah..

    ReplyDelete
  2. penasaraaaaaaaan.. buka blog mb Naqi ada suguhan episode2, cus cari episode pertama ini.

    ReplyDelete
  3. walaah udah banyak aja serialnya naqi, jadi penasaran kenapa ade mikir begitu sih,,

    ReplyDelete
  4. New reader of your blog ya mba Navii :)
    nunggu cerita2 selanjutnya hehe

    ReplyDelete

Post a Comment