Header Serambi Naqiibah

Nobar Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini

2 comments
Konten [Tampil]

Hai, Gais! Apa kabar mental kalian selama PPKM berjilid-jilid ini? Semoga dalam keadaan sehat yah. Saat akun instagram @bukugpu dan @sastragpu menginformasikan adanya nobar gratis film Tak Ada yang Gila di Kota Ini, dengan diri yang sadar sepenuhnya langsung cuss daftar.

Sayangnya saat pemutaran film batch 1, aku melewatkannya. Seperti biasa, daftarnya 18 Agustus, pemutaran filmnya 25 Agustus. Ya auto lupa dong, Naqi gitu loh :3. Sadarnya pas tanggal 25 Agustus baru cek email pukul 22.00 WIB. Kelewat dong, Mamihhh. Emang udah waktunya untuk selalu pasang alarm deh.

Tapi kemudian aku bahagia, saat mendapatkan email kembali untuk pemutaran batch 2 kemarin tanggal 30 Agustus. Tak akan kulewatkan begitu saja. Langsung pasang kalender pengingat deh. Nah, untuk kalian yang belum nonton film ini, silakan baca ulasanku ini yaa.

Nobar Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini


Nobar Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini

Para narasumber diskusi setelah nonton bareng

Acara nonton bareng film Tak Ada yang Gila di Kota Ini diadakan Gramedia Pustaka Utama melalui zoom meeting dengan moderator Patricia Wulandari. Setelah nonton bareng filmnya, dilanjutkan dengan diskusi bersama para narasumber yang memegang peranan penting di balik film Tak Ada yang Gila di Kota Ini

1.  Eka Kurniawan, Penulis.

Eka Kurniawan adalah seorang penulis yang sudah dikenal dalam skala internasional. Novel Cantik Itu Luka sudah menjadi mega best seller dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Selain film Tak Ada yang Gila di Kota Ini, ada juga karyanya yang dialiwahanakan menjadi film. Ini baru banget yaitu Seperti dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, versi international berjudul Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash mendapatkan penghargaan Golden Leopard Locarno Festival 2021. Karya terakhir Eka, cerita Sumur yang sold out 3000 eksemplar saat pre-order.

Eka Kurniawan mengatakan ada beberapa keresahan yang disampaikan dalam cerpen tersebut. Bicara tentang relasi kekuasaan antara orang -orang gangguan jiwa dengan orang normal. Tapi orang-orang normal ini terafiliasi dengan kekuasaan legal sperti pemerintah. Dalam cerpen juga ada relasi kuasa antara pemilik modal dalam hal ini industri pariwisata, dengan orang-orang gangguan jiwa yang awalnya dilihat sebagai kotoran yang harus dibuang tapi ternyata mereka juga dimanfaatkan.

Untuk karya yang dialihwahanakan ke bentuk film, Eka Kurniawan mengaku untuk mempercayakan saja kepada sutradaranya. Sejak awal Eka bertemu dengan Wregas lalu tahu bahwa sutradara tertarik dan sudah membaca, serta sama-sama tahu kesesuaian seperti apa. Karena Eka sadar, sudut pandang antara penulis dan sutradara juga berbeda. Yang penting garis besarnya sama.

2. Sekar Sari, Aktris.

Sekar lahir dan tumbuh di Jogja. Latar belakangnya ini membuat Sekar menghidupi dan hidup dari berbagai bentuk kesenian dan kebudayaan. Sekar sendiri sudah menjelajahi panggung dan layar sebagai performer, penari, presenter dan aktris. Film pertama Sekar judulnya Siti. Film ini membawanya memenangkan penghargaan aktor terbaik dalam The Singapore International Film Festival  2014 dan aktris terbaik dalam Usmar Ismail Awards 2016 dan sebagai aktor muda terbaik dalam Indonesian Movie Actor Awards 2016.

Sekar mengaku saat pertama kali diberi script pertama bukan menjadi pineapple girl tapi gadis pendiam, dia nggak ngomong sampai setengah script. Dan baru sadar setelah setengah script, kalau si tokoh ini sinting dan licik. Ada challenge yang lain, dan bisa dikatakan akting dalam akting, sehingga Sekar pun mengiyakan. Selain itu juga banyak hal yang dieksplor dan Wregas memberikan direction banyak detail sehingga Sekar merasa sangat tertantang.

3. Mirna Yulistianti, Editor.

Dia adalah editor dari banyak buku-bukunya mas Eka Kurniawan. Selain itu, Mirna adalah editor dari banyak penulis Indonesia yang sudah kita kenal, seperti alm. Sapardi Djoko Damono, Intan Paramaditha, Joko Pinurbo, Djenar Maesa Ayu dan masih banyak lagi.

Mirna mengatakan saat sebuah karya dialihwahanakan menjadi film, maka yang harus diperhatikan itu komitmen sama ceritanya. Tidak sembarangan mengubah bentuk cerita menjadi film tapi jiwanya jangan sampai hilang. Karena karya Eka Kurniawan selalu identik liar, dan sarkastik. Tidak sekadar sarkasme tapi juga membuat pembaca berpikir.

4. Wregas Bhanutedja, Sutradara.

Seorang sutradara film Indonesia pertama di Semaine de la Critique Festival Film Kans 2016. Dia memenangkan penghargaannya melalui film pendek berjudul Prenjak, atau dalam judul internasionalnya, In The Year of Monkey.

Wregas memilih cerpen Tak Ada yang Gila di Kota Ini karena ada paling irisan emosi yang sama saat itu tahun 2018. Saat itu, Wregas merasa paling sebel dengan orang yang punya power, kuasa yang disalah gunakan, hanya karena dia ingin berkuasa lagi.

5. Adi Ekatama, Produser.

Produser dalam Rekata Studio mengatakan harapannya adalah ingin mengangkat buku-buku yang punya cerita yang berbeda dengan jenis buku yang selama ini diadaptasi menjadi film. Dan melihat respon penonton seperti apa.

Para narasumber diskusi setelah nonton bareng

Disclaimer acara: 

1. Kapasitas nobar dibatasi hanya untuk 1.000 peserta, diurutkan berdasarkan waktu kehadiran pada hari pelaksanaan. Pendaftaran nobar bukan jaminan bisa mengikuti nobar .Itu sebabnya batch 1 full 1000 peserta hingga diadakan batch 2 yang tadi malam (30/8) jumlah peserta kurang lebih 300an atau saya yang kurang memperhatikan berapa total peserta yang mengikuti nobar.

2. Ruang diskusi mulai dibuka 15 menit sebelum acara berlangsung.

3. Pada saat acara berlangsung, mikrofon seluruh peserta dibisukan dan dibuka terbatas pada sesi tanya jawab.

4. Peserta diharapkan tidak mengirimkan pesan yang sama berulang (spamming) dan pesan yang menyinggung SARA. Bila melanggar, peserta akan terpaksa dikeluarkan host ke ruang tunggu

Review Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini 

Sinopsis

Judul: Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini
Aktor: Oka Antara, Sekar Sari, Pritt Timothy, Jamaluddin Latif, serta Kedung Darma Romansha
Sutradara: Wregas Bhanuteja
Produser: Adi Ekatama
Perusahaan produksi: Rekata Studio, Labide Films dan Studio Batu
Tanggal rilis: 3-12 Oktober 2019 di Busan International Film Festival
Durasi: 20 menit

Poster Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini

Musim liburan telah tiba di daerah pantai selatan. Para pemilik hotel memberi perintah pada Marwan dan timnya untuk menangkap orang-orang dengan gangguan jiwa di jalanan kota, lalu membuangnya ke hutan, agar mereka tidak mengganggu para turis yang sedang berlibur. Alih-alih membiarkan mereka sekarat di hutan, Marwan ternyata memiliki rencana yang lain.

Trailer


Review

Jujur, sebelum nonton film ini, aku belum baca kumpulan cerpen Cinta Tak Ada Mati yang memuat cerpen asal di dalamnya. Baru baca cerpennya setelah menonton film. Dan ya, pesan yang sama tersampaikan dengan jelas.

Film ini tak banyak dialognya, tapi emosi yang disampaikan sangat nyata. Tak heran film ini mendapatkan penghargaan film pendek terbaik. Film ini menggunakan setting di Jogja, sehingga bahasa dialognya menggunakan bahasa Jawa dan beberapa dialog dengan turis menggunakan bahasa Inggris. Sementara dalam cerpen tidak disebutkan dengan pasti setting tempat.

Orang-orang gila dalam film Tak Ada yang Gila di Kota Ini adalah penggambaran kelompok sosial yang dianggap tak berakal dan nihil potensi sehingga pantas dibuang. Sering dalam kenyataan kita menemukan bahwa mereka dikumpulkan dan dibuang.

Ora ono aturan ning kene. (Tidak ada aturan di sini)

Di dalam film tampak jelas, orang-orang bisa bekerja ‘membersihkan’ orang gila, dan mereka digaji bos hotel agar turis asing tak terganggu. Bos hotel dan turis kulit putih didudukkan sebagai kaum berduit, sementara Marwan yang diperankan Oka Antara dan teman-temannya adalah orang biasa yang hidup bergantung gaji dari atas. 

Relasi antar pihak diperantarai dengan uang, sebuah objek yang sengaja dimunculkan berkali-kali. Namun ternyata plot twist yang muncul, Marwan yang digaji bos hotel itu bisa mengeruk untung dari para turis lewat bisnis gelapnya. Bahkan pasangan Marwan yang diperankan Sekar Sari, orang gila yang dikira tak punya akal dan daya, rupanya sukses menguras duit para turis. 

Akting Marwan dan pasangannya yang diperankan Oka Antara dan Sekar Sari memang sangat terkesan serius dan misterius, hingga terjawab ternyata memang tak ada yang benar-benar gila di kota ini. Semua orang dalam film ini punya kegilaan masing-masing. Sungguh betapa ironinya kan? 

Fun Fact Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini

Setelah mengamati dan menikmati film yang cukup misterius ini, aku menemukan beberapa fun fact, antara lain:

1. Adaptasi dari cerpen Eka Kurniawan

Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini diangkat dari dari salah satu cerita pendek karya Eka Kurniawan dengan judul yang sama yang ada di dalam buku Cinta Tak Ada Mati. Buku ini disunting oleh editor sastra Gramedia Pustaka Utama, Mirna Yulistianti. Terakhir terbit dengan sampul buku terbaru pada tahun 2018. Sampul ini dibuat berkolaborasi dengan seniman Eko Nugroho.

2. Sutradara pembaca buku Eka Kurniawan

Film ini disutradarai Wregas Bhanuteja yang diproduksi oleh Rekata Studio dengan produser Adhyaksa Ekatama. Dia mengaku saat ditawari produser untuk membuat film dari cerpen Eka Kurniawan, langsung mengiyakan. 

3. Merepresentasikan eksploitasi hiburan bagi orang yang berkuasa

Dari kumpulan cerpen Eka Kurniawan yang dibaca, terpilihlah cerpen yang sama karena kekesalan dengan orang yang memiliki kuasa dan dirasa dalam cerpen Tak Ada yang Gila di Kota Ini orang-orang yang tidak berdaya digambarkan orang mengalami gangguan jiwa yang dieksploitasi menjadi hiburan bagi orang yang berkuasa. Dan orang-orang tersebut sebenarnya membentuk lingkaran saling menindas.

4. Mendapat beberapa penghargaan

Fakta unik lainnya dari film pendek tahun 2019 ini adalah menjadi film pendek terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2019 dan juga official selection di Sundance Film Festival 2020.

5. Eksplorasi akting peran utama sangat luwes

Akting Oka Antara dalam tokoh Marwan yang terlihat penurut tapi ternyata sangat misterius. Tapi ternyata akting Sekar Sari menjadi pacar Marwan sangat mengeksplorasi peran yang sangat luwes dari emosi, depresif dan sedih. Tokoh pacar Marwan yang punya rencana kegiatan Marwan ini adalah paling bisa bersandiwara saat itu. Dia bisa berpura-pura menjadi gila demi mendapatkan uang.

6. Ditayangkan perdana di acara Busan International Film Festival 2019

Selain itu, film ini juga ditayangkan perdana di Busan International Film Festival 2019. Tak hanya berhenti di sana, film pendek ini pun aktif menjadi partisipan dalam berbagai festival film, yakni Singapore International Film Festival 2019, Jogja-NETPAC Asian Film Festival dan Locarno Film Festival 2020.

Fun Fact Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini

Gimana, hasil karya sineas Indonesia ini keren juga, kan? Nah, saat ditanya adakah keinginan untuk mengalihwahanakan cerpen Eka Kurniawan lainnya, Wregas mengaku ada. Ya nanti kalau memungkinkan bisa izin lagi sama penulis novel Lelaki Harimau itu, tandasnya.

Naqiibatin Nadliriyah
Halo! Saya Naqi. Pembaca buku yang menulis beberapa topik di Serambi Naqiibah. Diantaranya tentang ulasan buku maupun film, tips, fiksi, finansial, dan review produk teman :)

Related Posts

2 comments

  1. Aku juga ikutan nobar film ini kak. Wahh berarti waktu itu kota satu frame ya hihihi.. Keren sih film ini. Abis nonton ini jadi ngefans sama wregas wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kemarin tgl 30,mbk? Iyaa, ak langsung ngfans sama Wregas. Nungguin film panjangnya yang baru, mbak. Penasarann

      Delete

Post a Comment