Header Serambi Naqiibah

Moderasi Beragama: Menyejukkan Dunia Pendidikan Tinggi

Post a Comment
Konten [Tampil]

Di tengah dinamika global yang kian kompleks dan keberagaman yang tak terhindarkan, dunia pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam merawat harmoni sosial. Kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga ruang tumbuhnya karakter, toleransi, dan kepekaan terhadap perbedaan. 

Di sinilah nilai moderasi beragama menjadi penting: sebagai jalan tengah yang menyejukkan, menjembatani keyakinan yang beragam dengan semangat kebersamaan. Moderasi beragama bukan sekadar wacana normatif, melainkan fondasi untuk menciptakan iklim akademik yang inklusif, damai, dan bermartabat—dimulai dari ruang kelas, diskusi ilmiah, hingga interaksi sehari-hari antar sivitas akademika.

Moderasi Beragama: Menyejukkan Dunia Pendidikan Tinggi

Apa Itu Moderasi Beragama dan Kenapa Penting di Kampus?

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang kian sarat polarisasi dan ketegangan identitas, perguruan tinggi memegang peran sentral sebagai wadah pembelajaran yang tidak hanya mengasah kecerdasan, tetapi juga membentuk karakter. Dalam konteks ini, nilai-nilai moderasi beragama berfungsi layaknya penyejuk dalam suasana akademik yang semakin dinamis dan penuh tantangan. 

Moderasi beragama bukan berarti kompromi terhadap keyakinan, melainkan wujud keseimbangan dalam bertindak, keberanian dalam merawat toleransi, serta keteguhan dalam mengedepankan perdamaian.

Kata moderasi dalam bahasa Arab diartikan “alwasathiyyah”. Secara bahasa “al-wasathiyyah” berasal dari kata “wasath” (Faiqah & Pransiska, 2018; Rozi, 2019). Al-Asfahaniy mendefinisikan “wasathan” dengan “sawa’un” yaitu tengah-tengah diantara dua batas, atau dengan keadilan, yang tengah-tengan atau yang standar atau yang biasa-biasa saja. Wasathan juga bermakna menjaga dari bersikap tanpa kompromi bahkan meninggalkan garis kebenaran agama (Al-Asfahani, 2009, p. 869).

Kata “al-wasathiyyah” berakar pada kata “alwasth” (dengan huruf sin yang di-sukun-kan) dan “al-wasth” (dengan huruf sin yang di-fathah-kan) yang keduanya merupakan mashdar (infinitife) dari kata kerja (verb) “wasatha”. Selain itu kata wasathiyyah juga seringkali disinonimkan dengan kata “al-iqtishad” dengan pola subjeknya “almuqtashid”. Namun, secara aplikatif kata “wasathiyyah” lebih populer digunakan untuk menunjukkan sebuah paradigma berpikir paripurna, khususnya yang berkaitan dengan sikap beragama dalam Islam (Zamimah, 2018).

Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang menekankan pada keadilan, keseimbangan, dan menghindari sikap ekstrem, baik dalam bentuk radikalisme maupun fanatisme sempit. Dalam konteks kampus, sikap ini penting karena perguruan tinggi merupakan rumah bersama bagi berbagai latar belakang agama, suku, budaya, dan cara pandang.

Ketika nilai moderasi tidak hadir, kampus bisa menjadi lahan subur intoleransi: mahasiswa terkotak-kotak dalam kelompok eksklusif, kegiatan rohani menyingkirkan pihak lain, bahkan terjadi diskriminasi dalam relasi akademik. Ini bukan sekadar ancaman ideologis, tapi juga ancaman terhadap integritas akademik.

definisi moderasi beragama

Moderasi Bukan Ancaman Iman

Moderasi beragama dalam pendidikan tinggi adalah jembatan antara logika dan nurani, antara ilmu dan iman. Ia tidak bertentangan dengan akal, justru memperkaya cara berpikir. Ia bukan penghambat ekspresi agama, justru pelindung keberagaman. Ketika moderasi hidup di hati para dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan, maka kampus tidak hanya mencetak ilmuwan, tapi juga pemimpin masa depan yang membawa damai.

Maka mari kita rawat moderasi, mulai dari hal sederhana: dari cara kita menyapa yang berbeda, hingga cara kita menjaga hati agar tetap teduh di tengah panasnya perbedaan. Sebab dunia mungkin terus gaduh, tapi kita selalu bisa memilih untuk menjadi sejuk. 

Empat Pilar Moderasi Beragama

Empat pilar utama dalam moderasi beragama ini bukan sekadar jargon normatif, tapi prinsip hidup yang mampu mengarahkan cara berpikir, bersikap, dan bertindak dengan bijaksana dalam perbedaan. Apa saja empat pilar moderasi tersebut?

1. Tawassuth

Tawassuth berarti bersikap tengah, menghindari ekstrimitas baik dalam keyakinan, perilaku, maupun penilaian terhadap orang lain. Di kampus, ini berarti mahasiswa, dosen, maupun tenaga pendidik mampu memposisikan diri tidak terjebak dalam sikap fanatik buta atau liberal tanpa batas. 

Sikap tawassuth mengajarkan untuk bersikap objektif, menimbang suatu persoalan secara menyeluruh, serta terbuka terhadap pendapat yang berbeda. Di ruang kelas, sikap ini menjadi bekal penting dalam diskusi akademik yang sehat.

2. Tawazun 

Tawazun mengajarkan keseimbangan antara aspek spiritual dan rasional, antara hak dan kewajiban, serta antara individu dan masyarakat. Dalam konteks pendidikan tinggi, tawazun menjadi prinsip dasar dalam menyelaraskan kehidupan akademik, sosial, dan keagamaan. 

Mahasiswa tidak hanya dituntut cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual. Dosen pun diharapkan tidak hanya mengajar, tapi juga membimbing dan menjadi teladan dalam menjalankan kehidupan berimbang.

3. Tasamuh

Tasamuh, atau toleransi, adalah kemampuan menerima perbedaan tanpa merasa terancam atau merendahkan pihak lain. Ini bukan berarti menyamakan semua keyakinan, melainkan menghargai pilihan orang lain selama tidak menyalahi prinsip moral dan hukum. 

Kampus yang menjunjung tinggi tasamuh akan menciptakan iklim inklusif, di mana mahasiswa dari berbagai latar belakang merasa aman untuk tumbuh dan belajar. Perbedaan bukan dijauhi, melainkan dijadikan bahan belajar bersama.

4. I’tidal 

I’tidal adalah sikap adil, lurus, dan teguh dalam prinsip. Ini bukan soal netralitas semu, tapi keberanian berpihak pada kebenaran secara proporsional. 

Dalam konteks akademik, i’tidal mengajarkan integritas ilmiah—tidak memanipulasi data, tidak menyebar hoaks, serta tidak menjadikan kampus sebagai ruang agitasi. I’tidal juga membentuk keberanian mahasiswa untuk bersikap kritis namun tetap santun, mengoreksi tanpa merendahkan, dan menyuarakan keadilan tanpa provokasi.

Empat pilar moderasi beragama ini sudah seharusnya bukan hanya jadi wacana akademik atau seremonial sih ya. 

Empat Pilar Moderasi: Tawassuth, Tawazun, Tasamuh, I’tidal

Kampus: Miniatur Keberagaman yang Perlu Dijaga

Kampus adalah cerminan nyata dari keragaman Indonesia—berbagai suku, agama, bahasa, dan budaya bertemu dalam satu ruang intelektual. Mahasiswa dari Sabang sampai Merauke duduk berdampingan, mengerjakan tugas kelompok, berdiskusi, bahkan berdebat secara akademik. 

Di sinilah toleransi diuji bukan hanya dalam teori, tetapi dalam praktik sehari-hari. Keragaman ini adalah kekayaan, bukan hambatan—namun hanya akan tetap berharga jika dikelola dengan bijak.

Tanpa kesadaran moderasi, keberagaman mudah berubah menjadi potensi konflik. Perbedaan pendapat bisa meluas jadi polarisasi, keberbedaan agama bisa disalahpahami sebagai jarak, bahkan keberagaman etnis bisa dijadikan alat stereotip yang mengikis persatuan. Oleh karena itu, kampus perlu menjadi ruang yang sadar dan aktif dalam merawat keberagaman, bukan hanya secara administratif, tetapi secara budaya dan nilai.

Moderasi beragama hadir sebagai penopang etis di tengah keberagaman kampus ini. Ia mendorong mahasiswa untuk berpikir terbuka namun tetap berpijak pada nilai-nilai luhur agama. Ia menuntun dosen untuk menjadi teladan dalam bersikap adil dan tidak diskriminatif. 

Moderasi beragama juga mendorong seluruh komunitas kampus untuk memupuk solidaritas, bukan permusuhan. Sebab hanya dalam suasana yang sejuk dan toleran, ilmu pengetahuan bisa tumbuh dan membumi.

Moderasi beragama harus jadi budaya bersama, bukan sekadar slogan. Karena menyejukkan itu tugas kita semua. Mari hadir sebagai pribadi yang menyejukkan, bukan menghakimi. Karena keberagaman adalah rahmat, dan moderasi adalah cara menjaganya.



Daftar Pustaka:

Zamimah, I. (2018). Moderatisme Islam dalam Konteks Keindonesiaan. Al-Fanar, 1(1), 75–90.


Disclaimer: Sesungguhnya postingan ini didedikasikan untuk tugas PKDP (Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula) 2025 PTP UIN Malang :v

Naqiibatin Nadliriyah
Halo! Saya Naqi. Pembaca buku yang menulis beberapa topik di Serambi Naqiibah. Diantaranya tentang ulasan buku maupun film, tips, fiksi, finansial, dan review produk teman :)
Newest Older

Related Posts

Post a Comment